Demokrasi di Indonesia, sebagai sistem pemerintahan yang telah dipilih sejak era Reformasi 1998, kini tengah menghadapi ujian berat. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa politik, kebijakan pemerintah, dan dinamika sosial memperlihatkan gejala kemunduran demokrasi. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran luas dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat umum. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara kini berada dalam kondisi yang oleh sebagian pihak disebut sebagai “darurat demokrasi” informasi lebih lengkap kunjungi koranpagi .
Gejala Kemunduran Demokrasi
Kemunduran demokrasi bukan hanya terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari serangkaian peristiwa yang menunjukkan melemahnya prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan berekspresi, supremasi hukum, pemilu yang jujur dan adil, serta partisipasi publik yang luas.
Salah satu gejala nyata adalah menyempitnya ruang kebebasan sipil. Banyak aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan warga biasa yang menghadapi tekanan karena menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, kerap digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, bahkan terhadap pendapat yang disampaikan secara damai di media sosial.
Selain itu, muncul pula kecenderungan intervensi kekuasaan dalam proses hukum dan lembaga-lembaga independen. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang dahulu menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, kini dianggap melemah sejak revisi UU KPK pada 2019. Revisi tersebut bukan hanya membatasi kewenangan KPK, tetapi juga menempatkan lembaga ini di bawah kendali eksekutif melalui Dewan Pengawas.
Pemilu dan Manipulasi Politik
Pemilihan umum merupakan jantung dari sistem demokrasi. Namun, dalam praktiknya, kualitas pemilu di Indonesia semakin dipertanyakan. Politik uang, kampanye hitam, disinformasi, serta ketimpangan akses terhadap media dan sumber daya menjadi persoalan serius.
Pemilu 2024 menjadi titik kulminasi dari berbagai persoalan tersebut. Netralitas aparat, keterlibatan pejabat publik dalam kampanye, dan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan elektoral memperlihatkan adanya upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang tidak etis. Bahkan, Mahkamah Konstitusi sempat menuai sorotan publik setelah mengubah aturan batas usia calon presiden, yang dinilai memiliki konflik kepentingan karena melibatkan Ketua MK yang merupakan ipar dari Presiden.
Semua ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pemilu bukan lagi ajang kompetisi yang setara, tetapi lebih menyerupai sarana reproduksi kekuasaan yang dikendalikan oleh elite tertentu.
Pelemahan Lembaga Demokrasi
Demokrasi yang sehat membutuhkan lembaga-lembaga yang independen dan kuat, mulai dari lembaga legislatif, yudikatif, hingga lembaga pengawas. Sayangnya, banyak dari lembaga-lembaga ini justru mengalami pelemahan. DPR, yang semestinya menjadi wakil rakyat dan pengawas pemerintah, kerap kali terlihat lebih sebagai perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Fungsi pengawasan sering kali tumpul, dan banyak kebijakan kontroversial justru disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai.
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan berbagai lembaga peradilan lainnya juga menghadapi krisis kepercayaan. Putusan-putusan hukum dinilai tidak lagi berdiri di atas keadilan, tetapi lebih pada kepentingan politik jangka pendek. Keadaan ini menciptakan kegamangan di tengah masyarakat dan memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Polarisasi dan Intoleransi
Dalam kondisi demokrasi yang lemah, masyarakat cenderung terpecah. Polarisasi politik yang tajam, terutama sejak Pilpres 2014 dan 2019, menunjukkan betapa dalamnya perpecahan di masyarakat. Identitas agama, suku, dan kelompok sosial lainnya digunakan sebagai alat politik. Polarisasi ini tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga dalam kehidupan nyata, yang kemudian memperlemah kohesi sosial bangsa.
Intoleransi terhadap perbedaan pandangan pun meningkat. Kritik dianggap sebagai serangan, perbedaan politik disamakan dengan pengkhianatan, dan keberagaman dianggap sebagai ancaman. Ini semua bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang sejatinya menjunjung tinggi pluralisme dan kebebasan berpendapat.
Peran Media dan Disinformasi
Media massa memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi melalui fungsi kontrol sosial dan penyampaian informasi. Namun dalam beberapa tahun terakhir, media di Indonesia menghadapi tekanan yang luar biasa. Banyak media arus utama dimiliki oleh pemilik modal yang juga memiliki afiliasi politik. Hal ini membuat pemberitaan menjadi bias dan kurang objektif.
Di sisi lain, media sosial yang semula diharapkan menjadi ruang demokratis baru justru menjadi ladang disinformasi dan hoaks. Operasi buzzer, manipulasi opini publik, dan serangan terhadap individu atau kelompok kritis menjadi bagian dari strategi politik yang sistematis. Masyarakat yang tidak memiliki literasi digital yang cukup menjadi korban dari propaganda ini, dan akhirnya memperburuk kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghadapi kondisi “darurat demokrasi”, diperlukan kesadaran kolektif dari semua elemen bangsa. Pertama, masyarakat sipil harus kembali diperkuat. Organisasi masyarakat, LSM, akademisi, dan aktivis perlu menjalin kolaborasi untuk membangun gerakan bersama dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi.
Kedua, literasi politik masyarakat perlu ditingkatkan. Demokrasi bukan hanya tentang memilih dalam pemilu, tetapi juga tentang memahami hak-hak sipil, mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, serta pentingnya keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga, independensi lembaga-lembaga negara harus dijaga. Rekrutmen yang transparan, reformasi kelembagaan, serta penegakan etika dan hukum secara adil tanpa pandang bulu menjadi keharusan untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Keempat, media massa perlu kembali pada jati dirinya sebagai pilar keempat demokrasi. Kebebasan pers harus dijamin, dan media harus menjaga independensinya dari intervensi kekuasaan maupun kepentingan bisnis.
Kesimpulan
Demokrasi di Indonesia tengah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Gejala kemunduran demokrasi terlihat dari menyempitnya ruang kebebasan sipil, manipulasi politik dalam pemilu, pelemahan lembaga demokrasi, meningkatnya polarisasi masyarakat, serta dominasi disinformasi. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi membawa Indonesia pada rezim otoritarianisme baru yang berkedok demokrasi.
Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Sejarah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia memiliki kekuatan besar untuk memperjuangkan hak dan kebebasan mereka. Dengan partisipasi aktif, kesadaran kolektif, dan semangat reformasi yang terus menyala, demokrasi Indonesia masih bisa diselamatkan. Saatnya semua elemen bangsa bersatu untuk menjawab tantangan ini — karena masa depan demokrasi adalah masa depan kita bersama.